Kembali lagi ke Sulawesi… Tetapi kali ini sedikit menjauh dari daratan utama, yaitu Pulau Butung alias Buton. Saat menginjak pulau ini pertama kali di ibukotanya Bau-bau, saya segera merasakan jejak-jejak historis yang telah dialami kepulauan ini. Kota yang begitu ramai, simpang-siur kendaraan bermotor roda dua, angkot, hingga taxi, rasanya cukup menakjubkan untuk kota sekecil ini. Buton melalui Kesultanannya memang telah dikenal dalam sejarah bangsa kita sejak abad ke 13, bahkan sejak jaman Kerajaan Majapahit dan tercatat dalam naskah Negarakertagamanya Mpu Prapanca.
Maka tak heran pula jika hutan-hutan pulau ini telah mendapat sentuhan manusia sejak lama, seperti yang dialami hutan Lambusango (35.000 ha) di bagian tengah pulau ini. Bagian hutan yang terletak di bagian selatan, misalnya seakan telah menjadi lokasi utama para pencari rotan dan pencari kayu. Di salah satu lokasi ini misalnya, ada banyak simpangan jalan-jalan setapak dengan potongan rotan atau kayu yang diletakkan melintang jalan setapak, untuk mempermudah para perotan menarik kumpulan rotannya keluar hutan. Sementara di bagian hutan lainnya, air sungai terasa berserbuk kayu sebagai akibat dari kayu-kayu yang dialirkan melalui sungai. Sentuhan-sentuhan manusia ini tercermin dari struktur hutannya. Hutan-hutan dengan gangguan tinggi di Lambusango dicirikan oleh dengan tajuk yang jauh lebih terbuka sementara pada hutan dengan gangguan yang rendah, lebih dipenuhi oleh tumbuhan seperti pandan, palem, dan paku-pakuan. Hutan dengan gangguan rendah juga cenderung terletak di daerah yang berundak-undak. Tingkat gangguan ini ternyata tak membedakan status hutannya yang sebagian berstatus kawasan konservasi, sementara sebagian lainnya berstatus hutan produksi. Lanjutkan membaca “Rangkong Sulawesi, masih dapatkah memilih tempat hidup?”