Jika tubuh kepingin coklat

Craving for chocolate? Gimana jika sewaktu-waktu otak mengirimkan pesan akan kebutuhan coklat…banget? Konon kabarnya, pada perempuan kebutuhan coklat ini gabungan antara kultur dan kandungan kimia (http://archives.cnn.com/2000/HEALTH/diet.fitness/02/02/chocolate.wmd/).

choc_pudding.jpg

Nisa dan tantenya punya kegemaran yang sama. Kalau ke supermarket selalu mengunjungi gerai makanan dari susu olahan dan mencari ‘chocolate pudding’. Puding coklat yang ini tidak termasuk puding coklat bertekstur kaku seperti yang dikenal di Indonesia (yang dimakan dengan vla), tapi cenderung bertekstur seperti emulsi. Ini karena tidak ada kandungan agar2 di dalamnya. Kekentalannya diperoleh dari tepung maizena yang memang fungsinya sebagai agen pengental jika suhu meningkat melalui pemanasan. Jadi, di antara browsing scientific journal dan resep, yang didapat ternyata malah resep ‘chocolate pudding’ ini. Rasa dan warna coklatnya diperoleh dari Dutch processed cocoa (bubuk cacao) dan chocolate chips. Btw, Dutch processed cocoa itu biji cacao yg bersifat asam dimasak dengan campuran alkali sehingga sifatnya menjadi netral, dan berwarna coklat kemerahan. Akibat proses ini, bubuk cacao menjadi lebih mudah larut dan rasanya tidak terlalu pahit.

Gampang banget buatnya. Campur gula, cacao, tepung maizena, dan garam di panci. Aduk rata sambil dicampur dengan susu. Masak sambil diaduk (ingat, susu yang dimasak di atas api harus terus diaduk supaya tidak ‘pecah’) hingga kental. Sementara itu, kocok telur sebentar di wadah tahan panas. Masukkan cairan susu yang masih panas ke dalam kocokan telur sambil diaduk. Masukkan chocolate chips dan aduk hingga leleh. Masukkan ke dalam cup atau wadah2 berukuran kecil, tutup dengan plastic wrap. Ini untuk mencegah timbulnya lapisan tebal di bagian permukaannya pada saat adonan dingin. Dinginkan di lemari es.

Rasa ‘rich-chocolate’ dari pudding ini sebenernya berasal dari chocolate chipsnya, sementara rasa cairan susu+cacao sendiri tak lebih seperti minum susu coklat. Resep ini sendiri memakai’ounce’ untuk mengukur kebutuhan chocolate chipsnya. Tapi repot juga musti kalkulasi ounces ke dalam gram berhubung Indonesia pakai sistem metric yang berbeda dengan Amerika. Ada juga sih beberapa situs metric calculator kalau mau tepat banget. Tapi kalau saya sendiri banyaknya chocolate chips tidak tergantung resep, tapi tergantung rasa. Masukkan chocolate chipsnya sedikit2 sambil sesekali dirasakan hingga rasanya coklatnya sudah pas di lidah kita.

Jadi daripada susah2 cari chocolate pudding di supermarket, mending buat sendiri aja. Cocok banget deh untuk memenuhi chocolate intake di kala stress melanda 😛

Remembering lontong kupang…

Ini cuma sekedar oleh-oleh dari acara kenduriannya Jalansutra di Gedung Arsip. Saya cuma mau komentar satu, lontong kupang, makanan khasnya Surabaya…mmmmm…. Itu tuh, rebusan kupang dengan kuah petis yang dimakan dengan lontong. Soalnya jadi teringat perjalanan ke Surabaya sekitar pertengahan 80-an dengan Ayah saya. Beliau yang sekitar tahun 40 an pernah sekolah di Surabaya tentu saja berusaha mencari makanan favoritnya. Dari perjalanan itu, yang saya ingat ya cuma satu ini. Malam-malam cari makan ke arah Sidoarjo dan pesan lontong kupang. Saya sih ikut saja, tetapi sebagai penggemar lurjuk yang banyak dijual di Pantai Kenjeran Surabaya, ternyata lontong kupang ini cukup berkesan dan nempel banget di otak.

kupang.jpg

Ha, buktinya… lontong kupanglah yang paling tertinggal di benak. Begitu makan, rencana berikut langsung nempel di otak, harus bawa pulang lontong kupang. Bukan anggota tim kudaber bio UI kalo makan gak sambil ngebahas. Sambil makan semangkok berdua (taktik jitu untuk ikutan acara makan-makan kaya gini) dengan MDP (inisial menunggu persetujuan yang punya nama), kita ngebahas benda apakah kupang itu. Bivalvia atau gastropoda? Maksudnye… jenis kerang atau keong2an. Maklum deh, bukan orang Surabaya sih. Soalnya kupang itu kan kecil2 banget. Kebayang gak sih, kalau dia termasuk kerang2an, gimana tuh ngupasnya satu-satu. Jaman kuliah dulu aja kalo lagi iseng ngumpulin remis di Pulau Semak Daun, ngupasnya aja bikin bosen. Jadi sampai lontong kupangnya habis, kita tidak berhasil menarik kesimpulan apapun selain persetujuan atas mantapnya rasa petis dan bawang putih goreng. Lanjutkan membaca “Remembering lontong kupang…”

My legitimate procrastination of phd life

Kalau Jorge Cham bikin comic (kalau mau lihat lebih jelas, klik di sini) sebagai legitimate procrastinate, hehe….. blogging is my justifiable one. Jika, seharusnya sudah sampai multivariate stat, mendadak bingung mau pakai jenis t-test yang mana. Jika, satu chapter thesis gak selesai dalam waktu dua bulan (padahal gak ada kerjaan lain). Jika, menderita kebuntuan akan pemakaian kalimat bahasa Inggris yang itu-itu saja dan berakhir dengan “the results showed….” or “the results revealed…” or “the results depicted ….”. Jika, tiba-tiba kehilangan arah dalam connecting the objectives and the results. Jika, merasa putus hubungan dengan advisor karena berbagai sebab.

phd020200s.gif

Kemudian, jadi lebih sering beredar di yahoo messenger. Jadi ikutan goodreads dan masukin semua list buku yang pernah dibaca (untungnya list di endnote masih lebih banyak). Oh iya, jadi lebih sering browsing literatur dan masukin citation di endnote ketimbang baca papernya…. Jadi mendadak pergi ke Manchester Museum atau nonton di bioskop seorang diri daripada ngantuk baca paper di library. Jadi lebih banyak baca komik daripada baca novel tebal di waktu gak mikirin thesis. Jadi coba2 bikin saus salsa sampai rasanya pas. Jadi, bikin blog yang isinya gak keruan dengan alasan for good deeds.

So, what is the purpose of my blog? A way to self-learning through writing (10%), a way to share my knowledge and my thoughts (10%), a stepping stone for my undefined future (2%), a way to keep my sanity as a sensible human being (78%). A good reason to procrastinate. Jadi, kayanya cukup sesuailah dengan Jorge Cham. Procrastinate with purpose and with pride….. atau ini semua hanya alasan saja, hahaha….

Powered by ScribeFire.